Minggu, Juni 06, 2010

Mencerdaskan Hati Nurani

“Agar hati tenang dan hidup tenteram, banyak-banyaklah berdzikir disertai sabar dan syukur”. Demikian salah satu nasehat AA Gym dalam bukunya “Meraih bening hati dengan manajemen qolbu”. Sebuah model nasehat yang belakangan populer dengan istilah “Manajemen Qolbu”.

Model nasehat tersebut dapat dianggap sebagai cikal bakal “pendidikan hati nurani”. Alasannya, ia merupakan trobosan pemikiran baru yang cukup brilian. Sekaligus sebagai sebuah strategi untuk meraih hati yang bening. Disamping karena “langka”-nya pemikir maupun penulis yang membahas tentangnya.

Namun demikian, kiranya, sistematikanya perlu “disempurnakan”. Semisal definisi hati yang “bening” itu bagaimana, spesifikasinya, maupun pencerdasannya. Sebab, bila gambaran subyek, obyek kerja maupun targetnya belum dapat diketahui secara pasti, “mustahil” kiranya dapat meraih hati yang bening.

Sedang kenyataannya, sampai saat ini, belum ada ilmu pengetahuan yang secara ilmiah dapat mengungkap spesifikasinya. Al-Quran pun tidak menyebutkan secara pasti seluk beluknya secara detail. Sebagaimana tidak dijelaskannya secara detail keberadaan otak, jenis, dan spesifikasinya–walau belakangan pengetahuan tentang otak berkembang pesat, bisa menjelaskan otak kanan, otak kiri, otak spiritual, spesifikasinya, tugas teknisnya, dan lain sebagainya.

Sementara Nabi SAW sendiri memberikan gambaran secara global, bahwa ada satu gumpal darah yang sangat menentukan baik buruknya seseorang (dihadapan Tuhan). Bila gumpalan darah tersebut baik, maka baiklah seluruh tubuhnya (lahir batinnya). Sebaliknya bila rusak, maka rusaklah semuanya. (Gumpalan darah tersebut adalah hati.)

Walaupun demikian, bukan berarti tidak ada ilmu yang membahas tentang hati. Melainkan ia telah ada, digeluti dan dilestarikan oleh para praktisi tasawuf (sebagaimana pula pengalaman penulis). Di tanah Jawa dipakai dan dikembangkan oleh para “Wali Sanga”. Ilmunya, dapat disebut ilmu tasawuf, ilmu hakekat, ilmu “pintunya mati” (Pikiran Rakyat, 02-08-03) dan banyak istilah lainnya.

Seperti misalnya pengalaman Imam Al-Ghozali–maupun para tokoh sufistik yang lain–yang ditulis dalam buku “Ihya ‘Ulumuddin”. walaupun yang disajikan dalam bentuk sederhana, tidak seluas ilmunya, mengingat wilayah/jangkauan hati yang berada di luar jangkauan otak. dan, memerlukan praktek/pengalaman yang langsung, bukan hanya sekedar teori/wacana.

Sumber : http://ronijamal.com

0 komentar:

Posting Komentar